Anggaran Daerah dalam Krisis: Riadi Saputra Desak Evaluasi Total BUMD Merugi

banner 468x60
TIKTAKBORNEO.COM – PENAJAM – kini saatnya bagi semua pemerintah daerah untuk memilih: apakah anggaran publik akan tetap menjadi ladang eksperimen atau benar-benar menjadi sarana meningkatkan kesejahteraan rakyat?.
Riadi Saputra, Ketua Bidang OKK, DPD JMSI Kaltim.
Di tengah krisis anggaran yang menimpa banyak pemerintah daerah, pengalihan prioritas dari kewajiban pelayanan publik ke investasi perusahaan milik daerah yang merugi semakin mengkhawatirkan.
Menurut Riadi Saputra, Ketua Bidang Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan (OKK) JMSI Kaltim, kondisi defisit APBD menuntut agar alokasi anggaran publik difokuskan pada rakyat — bukan untuk menopang kerugian perusahaan daerah yang “hanya menjadi beban”.
“Ketika APBD menghadapi tekanan, maka investasi pada perusahaan daerah yang tidak menguntungkan harus dihentikan. Prioritas harus ke rakyat, bukan ke perusahaan milik daerah yang terus merugi,” tegas Riadi.
Fenomena yang diperingatkan tidak sekadar wacana. Data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat bahwa dari total 1.091 BUMD yang tersebar di seluruh Indonesia, sekitar 300 perusahaan milik daerah masih mencatat kerugian dengan total akumulatif mencapai sekitar Rp 5,5 triliun.
Dari total aset BUMD senilai ± Rp 1.240 triliun, laba bersih tercatat sekitar Rp 24,1 triliun, sedangkan dividen yang direalisasikan hanya sekitar Rp 13,02 triliun or sekitar 1 % dari total aset.
Di beberapa wilayah, kondisi ini semakin nyata seperti di Sumatera Utara, misalnya, salah satu BUMD yaitu PT Perkebunan Sumatera Utara mencatat kerugian sekitar Rp 13 miliar pada tahun 2020, baru kemudian membukukan laba kecil sekitar Rp 1,9 miliar pada 2021 — namun kontribusinya terhadap PAD sangat kecil hingga muncul opsi penjualan atau restrukturisasi.
Atau seperti Sumatera Selatan, lima BUMD milik pemerintah provinsi dinyatakan “tidak sehat” karena sama sekali tidak menghasilkan dividen maupun keuntungan signifikan — menyebabkan gubernur setempat menerapkan evaluasi mendalam terhadap BUMD-BUMD tersebut.
Riadi menyatakan, bahwa fenomena seperti ini harus menjadi alarm bagi seluruh pemerintah daerah, termasuk di Kalimantan Timur (Kaltim), agar berhati-hati dalam pengambilan keputusan investasi.
“Investasi bukanlah jaminan otomatis untuk keuntungan,” ujarnya.
“Jika perusahaan daerah terus mencatat kerugian atau tidak mampu menyumbang PAD, maka suntikan modal dari APBD hanya akan menguras anggaran yang semestinya dipakai untuk kesehatan, pendidikan, infrastruktur dasar,” sambungnya.
Lanjut Riadi, dalam logika pengelolaan publik yang sehat. Ketika APBD defisit, maka setiap rupiah harus diarahkan untuk pelayanan dasar dan kebutuhan rakyat, seperti kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih, infrastruktur jalan dan sanitasi — bukan untuk “grand project” atau investasi perusahaan daerah yang hasilnya belum terbukti. Keputusan investasi daerah seharusnya dilakukan dengan kajian risiko yang matang, transparansi penuh, dan akuntabilitas tinggi.
Riadi menambahkan, bahwa selain menghentikan investasi yang tak menguntungkan, pemerintah daerah juga harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap portofolio perusahaan milik daerah yang sudah ada — melakukan audit kinerja, meninjau kontribusi terhadap PAD, mempertimbangkan opsi seperti perombakan manajemen, penggabungan, bahkan penjualan apabila terbukti tidak efisien.
“Jangan sampai perusahaan daerah menjadi lubang biaya,” ujarnya mengingatkan.
Lebih lanjut, Riadi menyoroti bahwa jika di tengah kondisi defisit keuangan daerah masih ada kepala daerah yang memaksakan alokasi investasi ke perusahaan milik daerah yang terbukti tidak sehat, maka hal itu layak dipertanyakan secara publik.
“Kalau kepala daerah tetap memaksakan, maka publik wajib kritis. Ini bukan lagi sekadar urusan manajemen BUMD, tapi menyangkut moralitas penggunaan uang rakyat,” tegasnya.
Baginya, transparansi dan keberanian untuk menghentikan investasi yang tidak produktif justru menunjukkan kepemimpinan yang berpihak pada kepentingan publik. Ia menutup dengan pesan bahwa setiap rupiah dalam APBD adalah amanah rakyat, bukan modal eksperimen politik.
Analisis Data & Implikasi Kebijakan
•Dari total 1.091 BUMD seluruh Indonesia, 300 di antaranya merugi — sekitar 27,5 %-28 % dari total.
•Aset BUMD tercatat sekitar Rp 1.240 triliun.
•Laba bersih tercatat Rp 24,1 triliun, tetapi dividen hanya mencapai sekitar Rp 13,02 triliun atau sekitar 1 % dari total aset, suatu rasio yang sangat rendah.
•Masalah utama yang diidentifikasi adalah “lemahnya tata kelola”, termasuk ketimpangan struktur pengurus BUMD (misalnya jumlah dewan pengawas/komisaris lebih banyak dibanding direksi) serta kurangnya pengawasan internal dan eksternal.
Dari sudut kebijakan: ketika anggaran daerah terbatas, tekanan untuk memprioritaskan investasi BUMD yang tidak sehat menjadi lebih besar akibat potensi beban kerugian yang menambah defisit APBD. Hal ini berdampak langsung pada kemampuan pemerintah daerah untuk menyediakan layanan dasar yang menjadi tanggung jawab publik.
Menurut Riadi, hal-hal yang harus dilakukan adalah:
1.Penghentian segera investasi baru pada BUMD yang tidak memiliki prospek menumbuhkan kontribusi nyata terhadap PAD atau tidak memiliki bisnis model yang jelas.
2.Evaluasi total portofolio BUMD: rasio laba/rugi, kontribusi terhadap PAD, efisiensi biaya, profesionalisme manajemen.
3.Transparansi dan akuntabilitas: laporan keuangan lengkap, audit external, pengumuman ke publik, keterlibatan DPRD sebagai pengawas.
4.Prioritaskan anggaran ke pelayanan dasar: ketika APBD defisit, penggunaan untuk infrastruktur dasar, kesehatan, pendidikan harus menjadi prioritas mutlak dibandingkan suntikan modal ke BUMD yang merugi.
5.Pengawasan politik-keuangan: publik dan DPRD harus berani menyoal keputusan investasi yang tidak memiliki justifikasi ekonomi yang jelas dan terlihat lebih bernuansa politis atau kedekatan.
Ketika data menunjukkan bahwa hampir satu-ketiga BUMD nasional masih merugi dengan total kerugian triliunan rupiah, maka keinginan memperkuat pelayanan publik melalui penguatan BUMD harus dievaluasi ulang. Apalagi di tengah tekanan defisit APBD, mempertahankan atau memperbesar investasi pada perusahaan milik daerah yang belum terbukti sehat berisiko besar — tidak hanya pada aspek keuangan, tetapi juga pada morality governance dan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.
Seperti yang ditegaskan Riadi: ini bukan sekadar soal manajemen BUMD, tapi soal moral kepemimpinan daerah dan penggunaan uang rakyat. Ketika kepala daerah tetap memaksakan investasi, ketika suntikan modal terus diberikan tanpa dasar ekonomi yang kuat — maka yang dipertaruhkan bukan hanya laporan keuangan, tetapi pelayanan dasar yang menjadi hak rakyat.
Maka dari itu, menghentikan investasi yang tidak produktif menjadi langkah tak sekadar ekonomis — tetapi politik dan moral. Ibarat alarm yang menyala di ruang anggaran, kini saatnya bagi semua pemerintah daerah untuk memilih: apakah anggaran publik akan tetap menjadi ladang eksperimen atau benar-benar menjadi sarana meningkatkan kesejahteraan rakyat?. (*ara/)
banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *